Karena Jumlah Pesawat Terbatas Harga Tiket ke Kaltim Mahal, Komisi VI DPR Minta Pelita Air Layani Rute Kaltim-Kaltara
NASIONAL, NUSAPALA.ID – Mahalnya harga tiket pesawat menuju Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara menjadi perhatian di Senayan. Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Sitorus, mengkritik lonjakan harga tiket pesawat ke Balikpapan dan Tarakan dalam beberapa bulan terakhir. Ia mendorong pemerintah untuk menambah layanan penerbangan, khususnya dari maskapai penerbangan milik negara.
Dalam rapat kerja Komisi VI DPR RI dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada Jumat (7/6), Deddy mengungkapkan bahwa harga tiket dari Jakarta ke Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara telah meningkat drastis. “Harga tiket sangat mahal, terutama untuk rute ke Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Orang-orang bahkan harus menunggu sebulan untuk mendapatkan tiket pulang dari Jakarta,” katanya di Gedung DPR Senayan, Jakarta.
Deddy menilai bahwa penambahan maskapai penerbangan BUMN seperti PT Pelita Air Service, yang merupakan anak perusahaan PT Pertamina, bisa menjadi solusi. Dia menyarankan agar Pelita Air dipertimbangkan untuk melayani rute-rute ini, mengingat tingginya permintaan ke Balikpapan dan Kalimantan Utara karena adanya ibu kota baru dan Proyek Strategis Nasional (PSN).
Deddy juga menyoroti bahwa harga tiket yang biasanya di bawah Rp 1 juta kini melonjak menjadi Rp 2,8 juta, menyebabkan keluhan dari masyarakat. “Kenaikan harga ini disebabkan oleh kurangnya pesawat, dan maskapai swasta enggan menambah pesawat untuk menghindari kursi kosong,” ujarnya.
Anggota Komisi VI DPR RI, Andre Rosiade, menambahkan bahwa saat ini terdapat kekurangan pesawat di Indonesia, dengan kebutuhan sekitar 700 unit pesawat, sementara jumlah pesawat yang tersedia baru mencapai 300 hingga 400 unit. Ia memahami kebijakan Kementerian BUMN untuk fokus pada pasar domestik karena keterbatasan pesawat.
Menteri BUMN, Erick Thohir, menjelaskan bahwa Indonesia mengalami kekurangan jumlah pesawat, dengan total hanya 400 unit untuk melayani rute domestik, padahal kebutuhan nasional mencapai 700 pesawat. Selain itu, ada kebijakan yang membatasi izin penerbangan internasional, sehingga sulit untuk menambah penerbangan domestik.
“Walaupun kami ingin fokus pada penerbangan domestik, kami masih perlu mematuhi aturan terkait penerbangan internasional. Ini menjadi tantangan karena keterbatasan jumlah pesawat yang tersedia,” tutup Erick.